Penyokong "KITA"

Penyokong "KITA"

Jumat, 26 Februari 2010

Profil Pak "Menteri Kita"


Sejarah hidup

Suswono adalah anak dari H. Asyraf dan Hj. Suratni. Suswono mempunyai empat orang anak: Anna Mariam Fadhilah, Adilah Ihsani, Muhammad Usaid Gharizah, dan Sarah Nabilah dari pernikahannya dengan Mieke Wahyuni

Pendidikan

Seminar dan Pelatihan

  • SEPADYA Depdikbud tahun 1987
  • Menghadiri Kongres Mahasiswa Islam Australia di Sidney tahun 1992Elemen B
  • Delegasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam rangka memenuhi undangan GTZ di Jerman tahun 2001
  • Studi Banding Agribisnis MMA IPB di Thailand dan China tahun 2002
Delegasi F-PKS ke Malaysia tahun 2004 dalam rangka advokasi permasalahan TKI di Malaysia

Piagam/Penghargaan

  • Lulusan Terbaik SEPADYA Angkatan I Kopertis Depdikbud tahun 1987
  • Pelajar Teladan Tingkat SLTA Kab. Tegal tahun 1978

Pekerjaan

Organisasi

Pemerintahan

  • Tenaga Ahli Menteri Kehutanan tahun 1999-2001
  • Anggota DPR RI Periode 2004-2009
  • Wakil Ketua Komisi IV DPR RI 2005-2009
  • Menteri Pertanian - Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014

Jumat, 19 Februari 2010

Petani Indonesia dan Krisis Ekonomi Global


Krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) telah memberi pukulan langsung kepada petani Indonesia. Harga dua komoditas unggulan, minyak sawit dan karet, menukik tajam. Petani pun telah kehilangan pasar produk pertanian mereka di AS. Sedangkan dampak tidak langsung juga bisa terjadi: petani kita berpotensi kehilangan pasar di negara-negara yang menjadi partner AS, seperti Cina, India, Jepang, dan Eropa.
Tentu saja krisis ekonomi kali ini mau tak mau mengingatkan kita pada situasi 1998. Krisis ekonomi kala itu demikian besar dampak kerusakannya. Itu disebabkan titik episentrum gempa ekonomi terjadi waktu itu ada di dalam negeri kita sendiri dan di saaat daya tahan ekonomi kita tidak kuat. Jadi berbeda sekali dengan krisis kali ini. Sumber kerusakan ada di luar negeri dan Indonesia sudah punya pengalaman sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Meski begitu, negeri kita tidak bisa menahan sama sekali gelombang tsunami akibat gempa ekonomi di AS. Harus kita terima kenyataan bahwa di tahun-tahun ke depan laju pertumbuhan ekonomi kita akan mengalami perlambatan. Kita berharap angkanya tidak sampai negatif.
Betul, dampak krisis ekonomi AS tidak hanya menimpa negara kita saja. Hampir seluruh di dunia terimbas. Tapi, kenyataan ini tidak bisa menjadi apologi pemerintah untuk tidak berpikir kreatif dan bertindak cermat-cepat. Untuk bisa keluar dari krisis, kita sangat bergantung pada efektivitas usaha pemerintah meredam krisis. Pemerintah juga perlu bekerjasama dengan negera-negara lain, secara bilateral maupun multilateral, untuk menyelamatkan ekonomi riil rakyat kita, khususnya petani, bukan hanya menyelamatkan pasar modal, sistem perbankan, dan kondisi keuangan negara saja.
Kita berharap langkah-langkah yang diambil pemerintah efektif menekan derajat kerusakan ekonomi yang terjadi, baik intensitas dan lama terjadinya. Menurut prediksi sebagian ekonom, AS membutuhkan waktu untuk recovery antara 1-2 tahun. Berapa waktu yang dibutuhkan pemerintah kita? Jika pemerintah kita lambat bergerak dan gagal memberi solusi yang tepat dalam mengantisipasi efek krisis AS yang terjadi selama 1-2 kedepan, pertumbuhan ekonomi kita akan terus merosot, pengangguran meningkat, neraca perdagangan menurun, dan harga-harga –termasuk harga energi dan pangan– akan anjlok. Sementara, melemahnya pertumbuhan ekonomi global akan mengakibatkan permintaan terhadap produk-produk pertanian kita, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, teh, dan rempah-rempah, akan berkurang. Payahnya, sudah jumlah permintaan yang berkurang, harganya juga terus merosot.
Saat ini telah terjadi penurunan ekspor produk-produk pangan dan pertanian kita ke AS. Kita juga khawatir permintaan pasar pangan Cina dan India seiring menurunnya tingkat ekonomi kedua negara itu akibat ekspor mereka ke AS juga seret.
Hal tersebut akan berakibat buruk kepada para petani kita, khususnya para petani yang mengandalkan pasar ekspor. Maka pemerintah perlu mengantisipasi akibat turunannya, bukan hanya penurunan pertumbuhan sektor pertanian secara makro, tapi juga dampak riil berupa bertambahnya pengangguran dan petani miskin.
Krisis ekonomi dunia juga mengakibatkan larinya modal asing dan lemahnya nilai tukar rupiah. Sektor pertanian sebenarnya bisa membantu pemerintah untuk meningkatkan devisa yang dibutuhkan negara kita untuk menstabilkan gejolak moneter. Syaratnya, pemerintah harus mendorong ekspor hasil pertanian dan mengurangi impor produk-produk pertanian. Surplus perdagangan internasional yang dihasilkan, tentu akan berdampak bagus bagi ekonomi petani, apalagi jika kontrol terhadap perubahan nilai tukar rupiah oleh otoritas moneter bisa bersahabat dengan sektor pertanian.
Jika penambahan ekspor sulit dilakukan, masih ada variabel konsumsi dalam negeri dan belanja pemerintah bisa dipakai untuk menyelamatkan para petani. Konsumsi dalam negeri terhadap produk-produk domestik harus ditingkatkan. Harus ada insentif untuk itu. Saat ini adalah waktu yang tepat untu meningkatkan konsumsi pangan dalam negeri karena harga produk pertanian lebih murah, khususnya untuk konsumsi protein dan lemak (baca: daging dan ikan). Sehingga, krisis ekonomi kali ini tidak akan menaikkan secara tajam jumlah anak-anak penderita gizi buruk.
Sementara itu belanja pemerintah harus ditingkatkan dan distribusinya dipercepat untuk memperbaiki infrastruktur di pedesaan dan pertanian. Perbaiki jalan-jalan desa dan irigasi. Proyek ini akan membuka lapangan kerja di tingkat desa. Jika ada pekerjaan, rakyat desa memiliki pendapatan (baca: daya beli). Daya beli mereka itulah yang akan menggerakkan ekonomi di pedesaan: ada kebutuhan konsumsi pangan dan ada keperluan akan barang-barang hasil industri.
Pemerintah harus mengusahakan ekspor pertaniannya tidak sampai menurun drastis. Kalau perlu pakai sistem barter seperti yang pernah dilakukan di masa Pemerintahan Presiden Habibie. Masih lebih bagus terjadi pertukaran barang, daripada tidak ada perdagangan sama sekali. Artinya, roda ekonomi masih berjalan. Problem perdagangan internasional sekarang memang likuiditas (baca: uang secara fisik).
Jadi, sistem barter bisa kita coba sebagai sebuah solusi situasional. Kita bisa menjual minyak kelapa sawit ke Rusia dengan imbalan pupuk yang dibutuhkan petani. Kita jual karet ke Cina dengan imbalan mesin-mesin pertanian.
Pemerintah juga bisa membantu petani sawit dengan menghidupkan lagi ide konversi energi ke biodiesel. Harga minyak kelapa sawit yang terjun bebas saat ini tentu akan terkoreksi dengan program konversi energi itu.
Insya Allah, masih banyak ide-ide kreatif yang bisa dilakukan Pemerintah untuk memblok pukulan krisis ekonomi global ke para petani kita.